Bahasa daerah terancam PUNAH

16/06/2011 15:27




Oleh Djoko Pitono
dph_djoko@yahoo.com 

Dalam acara pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Linguistik pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya pada 26 Februari 2009, Prof Dr Kisyani-Laksono mengemukakan hal yang menarik. Dalam pidato berjudul ‘Bahasa Daerah di Indonesia: Meretas Jalan untuk Bertahan Hidup dan/atau Berkembang’, ia menyebut ancaman punahnya banyak bahasa di negeri ini.

Dari jumlah bahasa di seluruh dunia sebanyak 6.912 (tahun 2009), Indonesia menduduki peringkat kedua terbanyak (741 bahasa) setelah Papua Nugini (820). Jumlah 741 itu sebagian besar adalah bahasa daerah di Indonesia. Jumlah itu memang dikatakan bisa naik turun karena ada bahasa-bahasa yang punah, tetapi juga ada bahasa yang belum teridentifikasi.

Namun jelas, ada yang memang sangat kritis keadaannya, seperti bahasa Ibu di Desa Gamlamo dan Desa Gamici, Kecamatan Ibu, Kabupaten Halmahera Barat, Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Penutur bahasa itu tinggal delapan orang yang semuanya sudah berusia lanjut : lima orang di Desa Gamlamo (pada tahun 2007 berusia 46, 60, 75, 80, 96) dan tiga orang yang berusia di atas 70 tahun di Desa Gamici.

’’Bahasa Ibu termasuk bahasa yang sangat kritis. Anak cucu para penutur bahasa ini menggunakan bahasa Ternate. Ini berarti upaya pembinaan untuk mempertahankan bahasa daerah itu tidak berhasil,’’ kata Prof Kisyani-Laksono.

Bagi orang-orang dari suku besar seperti Jawa, laporan seperti itu barangkali kurang menarik. Banyak di antaranya barangkali kurang sadar bahwa bahasa Jawa pun bukan tak mungkin punah, apalagi bahasa yang penuturnya kecil. 

Sepele? Sama sekali tidak. Para pakar dan peminat bahasa mengingatkan, bahasa tak ada bedanya dengan alur kehidupan manusia. Sejak dulu kala, bahasa lahir, hidup dan lenyap dengan masyarakat pemakainya. Ini wajar-wajar saja. ’’Masalahnya, dewasa ini, lenyapnya bahasa-bahasa itu amat cepat,’’ Gerard Bibang, peminat bahasa yang tinggal Negeri Belanda.. 

Menurut penyiar Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi) itu, gejala ini merupakan salah satu akibat dari apa yang disebut peperangan bahasa. Ribuan besar di seluruh dunia terancam punah dalam waktu yang tidak terlalu lama. ’’Keanekaan bahasa sebagai bagian dari warisan keanekaan kebudayaan umat manusia, juga terancam punah,’’ tulisnya. 

Apa yang dipertanyakan memang penting direnungkan. Mungkinkah manusia tanpa kebudayaan, atau kebudayaan tanpa manusia? Mustahil! Kebudayaan adalah produk khas manusia. Ancaman terhadap bahasa adalah ancaman kebudayaan. Ancaman kebudayaan adalah ancaman terhadap manusia.

Apakah manusia akan hidup dalam kebudayaan monolingual? Idealkah bila hanya ada satu bahasa universal di dunia, dengan demikian, mengabaikan keanekaan bahasa yang telah menjadi citra budaya umat manusia manusia sepanjang zaman?

Para pakar bahasa jauh hari telah memperkirakan bahwa tidak satu pun bahasa mampu bertahan jika tidak didukung oleh 100 ribu orang pemakainya. Pada tahun 2002, di seluruh dunia setengah dari 6 000 bahasa atau bahkan lebih, digunakan oleh kurang dari 10 ribu orang pemakainya. Seperempatnya digunakan oleh ratusan juta pemakai. Ini memang bukan fenomena baru. 

’’Sejak munculnya bermacam macam bahasa, paling kurang 30 000, bahkan lebih, hampir setengah juta darinya punah tanpa bekas,’’ tulis Bibang pula.

Bahasa umumnya bertahan dalam rentang waktu relatif singkat. Demikian juga tinggi tingkat kepunahannya. Hanya beberapa di antaranya, misalnya bahasa Basque, Mesir, Sansekerta, Tiongkok, Yunani, Ibrani, Latin, Persia, dan Tamil, mampu hidup lebih dari 2000 tahun. 

Yang baru sebenarnya adalah gejala begitu cepatnya bahasa-bahasa itu punah. Hal ini dibenarkan oleh Ranka Bjeljac-Babic. Ahli psikologi bahasa pada Universitas Poitiers, Prancis ini, meneliti kepunahan bahasa dalam kaitan dengan kolonialisme. 

Hasil penelitiannya tertuang dalam 6000 Languages: an Embattled Heritage, yang dimuat dalam Index April 2000. Pertanyaan yang dijawabnya dalam penelitian itu ialah mengapa bahasa-bahasa punah saat masyarakat penggunanya dijajah oleh suku atau bangsa yang lebih berkuasa dan berpengaruh. 

‘’Kolonialisme melenyapkan sekurangnya 15 persen bahasa yang digunakan pada saat kolonialisme itu dilakukan. Lebih dari 300 tahun, Eropa kehilangan banyak sekali bahasa,’’ kata Bjeljac-Babic. 

Di Australia pada 2002, yang tertinggal hanya 20 dari 250 bahasa di akhir abad ke-18. Di Brasilia, sekitar 540 bahasa, atau sekitar tiga perempat dari jumlah seluruhnya, punah sejak penjajahan Portugal tahun 1530.

Bibang pun mencatat, bahasa-bahasa semakin lenyap ketika banyak negara jajahan mulai merdeka. Mereka yang umumnya memiliki hubungan keeratan karena kebahasaan mulai memilih bahasa nasional mereka. Dalam proses itu terjadilah apa yang disebut pemilah-milahan bahasan. 

Negara-negara baru itu menyingkirkan bahasa-bahasa lain. Dengan upaya besar-besaran menetapkan bahasa resmi dan bahasa pengantar, pemerintah di negara-negara yang baru merdeka itu, dengan sengaja menghapus bahasa-bahasa kecil yang tidak didukung oleh mayoritas pemakainya.

‘’Ketika negara-negara jajahan tadi mulai membangun, muncul faktor lainnya yang turut memusnahkan bahasa. Faktor itu adalah kebutuhan akan bahasa standar. Kebutuhan ini kemudian dipicu oleh kemajuan iptek dan industrialisasi,’’ katanya. 

’’Kemajuan ini memaksa orang untuk berkomunikasi secara serba: serba cepat, serba langsung, serba praktis. Bahasa yang berliku-liku dan beragam dirasakan sebagai kendala dan bakal tergusur,’’ tambahnya pula.

Kembali ke bahasa Jawa, tampaknya bahasa ini aman. Tetapi menurut Prof Kisyani, tidak tertutup kemungkinan kategori ini akan berubah menjadi ‘stabil dan mantap, tetapi terancam punah’. 

Hal ini dapat saja terjadi karena kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah/bahasa ibu kepada anak-anaknya. ‘’Bahkan di beberapa perumahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk pergaulan,’’ kata Prof Kisyani.

Andakah yang dimaksud profesor ini? 

 

sumber: https://hurek.blogspot.com/2009/03/bahasa-daerah-terancam-punah.html